Belum Ada Inovasi Kebijakan di Kepulauan

SUMENEP570 Dilihat

Potret pendidikan (guru PNS) di kepulauan yang kadang namanya ada di sekolah-sekolah namun keberadaannya lebih nyaman di daratan menjadi sorotan dan problema klasik. Lalu, bagaimana seharusnya pendekatan kebijakan yang ideal untuk pembangunan daerah berciri kepulauan seperti di Sumenep? Berikut wawancara Moh. Rasul Junaidy dengan ahli kebijakan publik dari Unija Sumenep, Dr Wilda Rasaili, S.IP, MA.

Survei tingkat kepuasaan publik terhadap Pemerintahan Sumenep dua tahun terakhir cukup tinggi. Anda setuju dengan hasil tersebut?
Kepuasan publik secara tidak langsung kan menilai pada keberhasilan kinerja pemerintah. Karena itu kita perlu lihat secara objektif, dalam konsepnya Allan McChonnel misalnya, masalah yang kompleks berkaitan dengan keberhasilan atau kepuasan publik. Untuk siapa kebijakan itu? Variasi lintas waktu, artinya kapan publik ditanyakan? Dan bagaimana metodenya? Contoh misalnya publik menganggap berhasil dalam sektor biaya berobat dengan persentase 47 persen atau lebih, kapan itu dilakukan? Jika setelah program UHC maka jelas kepuasan akan tinggi. Lalu bagaimana dua tahun sebelumnya dan kita lihat survei tahun depan? Kemudian secara substantif dan orientasi misalnya kepuasan publik tinggi terhadap biaya pendidikan, tetapi sisi yang lain tingkat pendidikan rendah. Ini kan paradoks. Sebetulnya bukan soal biaya yang rendah atau gratis tetapi bagaimana kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah dalam meningkatkan pendidikan dan literasi masyarakat.

Apakah karena itu, dua tahun kepemimpinan Sumenep sepertinya sepi dari kritik publik? Atau daya kritisme publik berada pada sikap apatisme?*
Nah ini yang saya sampaikan di awal, menganggap kepuasan kepemimpinan Sumenep selama dua tahun dengan ukuran survei yang sebetulnya perlu diperjelas kapan surveinya, program terdekat apa sebelum survei, dan untuk siapa kebijakan itu? Lalu tentang lemahnya sikap kritis publik, sebetulnya ada dua hal. Pertama, publik merasa puas terhadap pemerintah karena keberhasilan substantif. Dalam hal ini saya melihat pada kesejahteraan atau penurunan kemiskinan dan peningkatan kualitas pendidikan. Hal-hal lainnya seperti pelayanan, bantuan kan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kualitas pendidikan. Dan jika kebutuhan dasar itu belum tampak terealisasi maka bisa pada poin yang kedua, yaitu sikap apatisme politik. Apatisme masyarakt tentu juga bagian dari lemahnya pemerintah dalam membangun kepercayaan publik dan membangkitkan kecerdasan publik untuk memberikan kritik terhadap pemerintah. Mungkin di Sumenep tidak ada persekusi terhadap sikap kritis publik tetapi lambannya respon pemerintah terhadap keluhan dan kritik publik dapat membuat masyarakat menjadi apatis.

Di Sumenep banyak perguruan tinggi, tapi sepertinya belum satu pun PT yang melakukan survei atau riset soal kinerja Pemerintahan Sumenep. Kalau hal itu dilakukan kan bisa menjadi pembanding dengan hasil survei yang ada?

Secara peran harusnya ya. Perguruan tinggi itu bertanggung jawab secara akademik dalam memberikan evaluasi kondisi sosial dan kinerja pemerintah sebagai bagian dari tri dharma perguruan tinggi, yaitu pengabdian. Evaluasi dan riset pada kinerja pemerintah sebagai masukan maupun juga kritik mungkin sudah dilakukan namun tidak begitu intens. Kalau survei kepuasan publik barangkali belum ada yang secara terbuka dilakukan oleh PT. Namun demikian penelitian tentang kinerja pemerintah saya pikir pasti ada-lah. Karena setiap dosen itu wajib melakukan minimal satu penelitian dalam satu semester. Lokusnya tentu mayoritas di Sumenep. Hanya saja yang terpublish di media sosial belum tampak jelas. Maka penting juga sebetulnya hasil penelitian PT yang memiliki kontribusi besar pada Sumenep, baik berupa keunggulan maupun kritik dapat diungkap di publik. Namun selama ini saya justru sering menjumpai beberapa media yang sumber referensi informasinnya bukan dari kalangan akademik. Padahal menurut saya akademisi memiliki kekayaan konsep dan analisis yang begitu kuat tentang fenomena sosial maupun kebijakan pemerintah.

Sejauhmana pengamatan Anda relasi perguruan tinggi di Sumenep dengan Pemerintahan Sumenep?
Saya pikir perlu ditingkatkan relasinya. Sejarah kemajuan daerah itu tidak lepas dari peran perguruan tinggi. Daerah harus dibangun berdasarkan ilmu pengetahuan, dan kompleksitas pengetahuan itu untuk kepentingan pembangunan daerah ada di perguruan tinggi. Saya sering menjumpai pemerintah melakukan relasi dengan perguruan-perguruan tinggi ternama di Jawa Timur. Itu mungkin bagus. Tetapi yang paling paham betul tentang fenomena sosial, kebutuhan masyarakat, kondisi kebijakan, bahkan konstruksi pertanian, model pendidikan dan lainnya menurut saya adalah perguruan tinggi yang ada di Sumenep. Karakter masyarakat Madura berbeda jauh dengan Jawa. Studi kasus bagaimana masyarakat memanfaatkan bantuan fasilitas itu berbeda antara Sumenep dan Jawa. Dan masih banyak kajian lainnya yang perlu pendekatan dari perguruan tinggi yang ada di Sumenep. Mungkin jalan tengahnya pemerintah bekerjasama dengan perguruan tinggi yang ada di Sumenep dan juga melibatkan oknum dari PT ternama lainnya. PT di Sumenep yang mengusai area dan lapangan, sedangkan yang diluar konsen pada konsep dan teorinya.

Menurut Anda bagaimana implementasi tagline Bismillah Melayani dalam pelayanan publik? Dan bagaimana pelayanan publik dianggap baik?

Dapat diinterpretasikan dalam dua hal. Yaitu menjalankan pelayanan dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Karena ada tagline “Bismillah”. Semua aparat pemerintah orientasinya tiada lain kecuali mewujudkan percepatan layanan, kenyamanan publik, kepentingan publik, dan kepuasan publik. Maka jika ini diperhatikan, saya yakin hampir tidak mungkin ada keluhan dan pasti Sumenep berkembang dan sangat maju. Karena menjalankan pemerintahan atas nama Gusti Allah. Namun jika percepatan dan kepuasan tidak terjadi, iya berarti hanya janji yang tak tertunaikan. Yang kedua digitalisasi layanan atau E-Government. Suatu pemerintahan digital dan pemerintahan transformatif. Hal ini setidaknya mencakup aspek government to citizen dan government to business. Ini tentu juga dalam mempercepat layanan untuk kepulauan. Namun mirisnya jangankan ke kepulauan, beberapa yang saya ketahui di daratan saja masih belum maksimal. Koneksi E-Government dari daerah ke desa saja di daratan masih lemah sekali. Lalu poin penting juga perlu adanya layanan pengaduan publik yang terus disosialisikan. Jadi setiap ada keluhan publik masyarakat tidak perlu datang dan melapor. Masyarakat cukup isi keluhannya di e-layanan. Masyarakat juga bisa mengakses secara langsung, apakah keluhannya sudah ditanggapi dan ditangani atau belum. Ini sudah model pemerintahan online.

Soal pembangunan kepulauan sepertinya dianaktirikan. Bagaimana Anda melihat kebijakan pemerintah sebelumnya dan Pemerintahan Fauzi?
Saya belum melihat perbedaan yang menonjol ya, atau istilah lain belum adanya inovasi kebijakan pembangunan di kepulauan. Dulunya janji politik Fauzi-Eva berkantor di kepulauan itu terobosan dan cukup bagus, walaupun menurut saya tidak terlalu amat penting. Sebab, yang paling penting adalah responsibilitas kebijakan dan pelayanan publik. Pemerintah memang sudah membangun RSUD Abuya di kepulauan, namun tentu perlu ditingkatkan fasilitasnya dan ketersedian dokter serta perlu dilakukan evaluasi kinerja aparatnya. Beberapa keluhan masyarakat kepulauan tentang guru PNS misalnya hanya namanya ada di sekolah-sekolah kepulauan namun keberadaannya lebih sering di daratan. Tentu ini perlu diperhatiakan baik yang profesi guru, apalagi tenaga kesehatan.

Lalu, bagaimana seharusnya pendekatan kebijakan yang ideal untuk pembangunan daerah yang berciri kepulauan seperti di Sumenep?
Sebagian saya sudah sampaikan di awal, yaitu E-Government. Selanjutnya juga sustainability development, yang tujuannya mewujudkan keadilan sosial dan ekonomi bagi seluruh rakyat termasuk juga kepulauan. Tantangan terbesar bagi Sumenep sebagai kabupaten maritim yang memiliki 125 lebih pulau yaitu disparitas ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Ini tantangan bagaimana melakukan keadilan kebijakan dengan prinsip pemerataan. Sisi lain potensi sumber daya alamnya tinggi. Namun jika manajemen birokrasi dan pemerintahan lemah maka percuma sumber daya alam melimpah tetapi tidak berdampak signifikan pada kepentingan masyarakat kepulauan. Dalam konsep sustainability development orientasinya setidaknya pada pembangunan jangka panjang dan menyerasikan sumber daya alam dengan manusia dalam pembangunan. Kepulauan banyak sumber daya alamnya, lalu bagaimana itu dibangun dengan keberlanjutan untuk kepentingan masyarakat. Di aspek yang lebih spesifik misalnya pendekatan SDGs. Saya amati di Sumenep rencana strategis SDGs hanya dari 2019 hingga 2021 selebihnya saya belum menemukan lagi konsep dan langkah strategis pemerintah dalam impelemntasi SDGs. Dan itu sangat cocok sekali untuk Sumenep sebagai kabupaten yang berciri kepulauan.

Akhir-akhir ini, Bupati Fauzi mewacanakan reaktivasi kereta api di Madura. Adakah urgensinya?
Sebelum pada urgensi, kita bisa amati contoh bagaimana efektifitas dan dampaknya Bandara Trunojoyo terutama terhadap pertumbuhan dan pemeratan ekonomi masyarakat? Bagi saya tidak sukup segnifikan. Padahal biayanya murah sekali. Ke Jember dan Banyuwangi pernah tarifnya hanya Rp250 ribu hampir sama dengan travel. Karena percuma jika daya tarik Sumenep rendah dan marketingnya lemah tetap saja tidak akan banyak wisatawan datang ke Sumenep. Targetnya salah satunya kan itu menurut saya. Itu kan instrumen dalam memajukan Sumenep, namun perlu di evaluasi apakah dampak signifikansinya. Apa kajian akademisnya, khususnya untuk Sumenep ya. Jadi kalau mau menarik program provinsi dan pusat langsung saja yang nembak ke masyarakat Sumenep. Seperti bangun sumah sakit besar di kepulauan. Perbaiki akses pelabuhan dan pelayarannya untuk kepulauan. Tingkatkan kualitas sekolah-sekolah di kepulauan dan sebagainya.

Menurut pengamatan Anda, dalam pengambilan kebijakan selama ini apakah pemerintah sudah melibatkan para stakeholders?
Pemerintah sering mewacanakan model pentahelix dalam pembangunan, yaitu melibatkan akademisi, media, dan pelaku usaha. Konsep itu bagus namun kita bisa amati bersama implementasinya. Implementasi itu 60 persen menentukan keberhasilan kebijakan. Jika hanya rencana dan wacana maka percuma. Lalu bagaimana implementasinya kita bisa lihat dalam dua aspek Musrenbang dan forum resmi lainnya. Musrenbang kita bisa pahami sendirilah sejak dari Musrenbang desa pelaksanannya hanya ritual birokrasi atau istilah lainnya formalitas yang tidak sungguh-sungguh melibatkan seluruh elemen dalam menyaring asprirasi. Bahkan sebelum Musrenbang kebijakan pembangunan sudah selesai di plot ke mana saja dan ke siapa saja. Yang kedua forum publik yang diadakan oleh pemerintah dalam ikut andil membahas rencana kebijakan dan pembangunan.

Memasuki tahun ketiga Pemerintahan Sumenep, apa harapan Anda?
Dalam konsepnya ada 3 hal, tingkatkan inovasi kebijakan dan pembangunan, kuatkan e-digitalisasi layanan dan birokrasi sehingga masyarakat urusan administrasi tidak perlu datang langsung, karena itu membutuhkan biaya operasional. Lalu kita bersama sama pergi ke hasil tidak melulu proses, yaitu rendahnya disparitas ekonomi, mengurangnya jumlah kemiskinan, dan meningkatnya tingkat pendidikan sehingga nanti betul-betul terwujud keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Sumenep. Sejahtera tidak hanya UMK naik dan ekonomi tumbuh. Tetapi masyarakat dapat menikmati layanan mudah, akses cepat, pendidikan gratis, dan tenaga semua berkualitas. Kenapa saya bilang berkualitas, misalnya biaya kesehatan gratis namun karena tidak berkualitas maka durasinya lama dan akhirnya biaya operasional ke masyarakat tinggi. Apalagi kepulauan. Demikian juga pendidikan, biaya pendidikan gratis tetapi kualitasnya rendah, tenaga pengajarnya sering tidak masuk, dan kompetensinya tidak bagus. Pemerintahan ada kan dilihat sejauhmana kualitas perencanaannya, implementasinya, dan evaluasinya. Jangan hanya bagus di perencanaan dan tagline apalagi hanya janji. Perlu perwujudan impelementasi kebijakan yang berkualitas, bagaimana implementasi kebijakan yang berkualitas setidaknya ada disposisi yang jelas, struktur yang rapi, sumber daya pelaksana yang kompeten, dan pola komunikasi yang informatif-komunikatif. Selanjutnya lakukan evaluasi secara berkala dan transparan. Evaluasi dapat dilakukan di internal dapat pula melibatkan publik dengan forum publik maupun layanan pengaduan. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *