Disparitas di Kepulauan, ”Janji Tinggal Janji”

SUMENEP713 Dilihat

Social disappointed (kekecewaan masyarakat) kepulauan dan social jab (kesejangan sosial) antara daratan dan kepulauan masih menjadi isu yang terus mengemuka. Masyarakat kepulauan seolah menjadi obyek umbar janji-janji yang tidak kunjung ditepati alias ”janji tinggal janji” seperti album Deddi Dores. Berikut wawancara Majalah Madura Network dengan Moh. Hamzah, S.Sos, M.Si, seorang pengamat sosial politik asal kepulauan yang kini menjadi dosen Universitas Madura (Unira) Pamekasan.

Isu disparitas kepulauan selalu mengemuka ketika suksesi kepemimpinan di Sumenep. Namun sepertinya itu hanya sekadar lipstik janji politik. Bagaimana menurut Anda?
Menurut saya wajar saja ada isu-isu seperti itu. Karena isu terkait dengan kepulauan apalagi menjelang suksesi kepemimpinan pasti menjadi sesuatu yang menarik untuk dibicarakan. Disparitas itu sendiri ’mengundang’ masyarakat khususnya masyarakat kepulauan untuk ”bereaksi” dengan argumentasi yang realistis. Sementara elite-elite kekuasaan lokal menjadikan itu sebagai political commudity issue (isu komoditas politik) dengan lip service (memberikan janji-janji manis) dan menjadikan sebagai clasical issue (isu-isu klasik) yang tak kunjung terwujud.

Apakah karena merasa ”dianaktirikan” lalu ada wacana pemekaran daerah kepulauan?
Wacana pemekaran daerah wilayah kabupaten Sumenep menjadi 2 (dua) kabupaten yakni daratan dan kepulauan itu muncul karena adanya social jab (kesenjangan sosial) antara Sumenep daratan dan Sumenep kepulauan. Memasuki tahun-tahun politik seperti sekarang ini biasanya ada saja pihak-pihak yang ’memancing di air keruh’ sehingga masyarakat tergiring pada opsi pro-kontra terhadap wacana pemekaran tersebut. Jika mengacu pada regulasi berkaitan dengan pemekaran daerah khususnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka dari cakupan wilayah sudah cukup syarat untuk dilakukan pemekaran daerah, yakni setidaknya untuk daerah kabupaten membawahi 5 (lima) kecamatan. Berdasarkan jumlah wilayah kecamatan di kepulauan sebetulnya sudah terpenuhi, karena ada 8 (delapan) kecamatan di kepulauan, yaitu Kecamatan Arjasa, Kecamatan Kangayan, Kecamatan Sapeken, Kecamatan Nonggunung, Kecamatan Gayam, Kecamatan Raas, Kecamatan Masalembu, dan Kecamatan Talango. Namun persyaratan lainnya yang perlu mendapat perhatian bersama yaitu persyaratan administratif sebagaimana diatur pada pasal 37 huruf b UU Nomor 23 Tahun 2014, yang menjelaskan, (perlu) persetujuan bersama DPRD kabupaten/kota induk dengan bupati/walikota daerah induk. Sepertinya persyaratan terakhir ini akan menjadi ’batu sandungan’ untuk memuluskan wacana pemekaran itu. Persoalan ’dianaktirikan’ itu bukan barang baru lagi, tapi sejak dulu tidak pernah disejajarkan dengan daratan dan beralibi soal geografis.

Kalau memang terjadi pemekaran apa plus minusnya bagi kepulauan?
Jika wacana pemekaran itu bisa diwujudkan maka plus minusnya tentu tidak bisa dihindari dan pasti ada. Misal untuk kelebihannya (plus) pemerintahan baru kabupaten kepulauan itu akan mengurus rumah tangganya sendiri secara mandiri dengan modal kemampuan yang dimiliki. Pengelolaan potensi sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan sesuai kebutuhan masyarakat kepulauan. Akan tetapi tentu ada minus atau kekurangannya, yaitu terkait dengan koordinasi yang mungkin kurang efektif karena dipisahkan oleh laut masing-masing pulau yang ada itu, yang memerlukan sarana transportasi yang cepat dan efektif.

Bisa Anda jelaskan, apa sesungguhnya kebutuhan dasar bagi masyarakat kepulauan?
Kalau kebutuhan dasar masyarakat kepulauan sepertinya sama dengan masyarakat Sumenep daratan yang meliputi kebutuhan sandang, papan, dan pangan. Akan tetapi yang perlu mendapat perhatian itu adalah pembenahan infrastruktur baik darat, laut maupun udara. Infrastruktur darat menyangkut jalan-jalan desa menuju jalan kabupaten atau jalan poros desa yang sudah lama kurang perhatian dari pemerintah daerah, bahkan jalan utama atau jalan kabupaten tidak semuanya diperbaiki, dan yang diperbaikipun sudah banyak rusak kembali tanpa perbaikan dan terkesan dibiarkan. Akibatnya banyak menimbulkan korban kecelakaan mulai dari meninggal dunia, luka berat dan ringan. Kemudian infrastruktur laut berkaitan dengan transportasi laut yaitu pengangkutan orang dan barang. Infrastruktur khususnya transportasi laut ini sangat tergantung pada kondisi cuaca. Apabila cuaca tidak bersahabat seperti angin atau ombak maka tidak ada upaya lain kecuali menunggu redanya angin atau ombak tersebut. Seharusnya ini didukung dengan infrastruktur udara seperti pesawat udara yang dapat menggantikan transpotasi laut itu dalam kondisi cuaca yang tidak menentu itu.
Infrastrutur udara atau pelayanan pesawat udara hanya menjadi komoditas politik menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) maupun pemilu. Masyarakat menjadi obyek umbar janji-janji yang tidak kunjung ditepati alias ”janji tinggal janji” seperti album Deddi Dores saja. Disilah seharusnya pelayanan udara itu dimaksimalkan. Belakangan ini pemenuhan bahan bakar minyak (BBM) jenis pertalite, di kepulauan mengalami kelangkaan khususnya pulau Kangean dan sempat membuat masyarakat menjadi resah. Diduga adanya permainan dari pihak-pihk tertentu yang mau ambil untung dengan cara sabotase distribusi pengiriman BBM ke kepulauan.

Pemerintahan Sumenep mengusung tagline ”Bismillah Melayani” Menurut Anda bagaimana implementasinya di kepulauan?
Saya kira tagline itu ”bismillah melayani” tidak bisa menjadi ukuran untuk memfasilitasi keperluan masyarakat karena tidak jelas barometernya apa. Hal itu justru terkesan ’pokoknya melayani atau yang penting memberikan pelayanan’ barometernya tidak jelas pelayanan seperti apa, apakah sesuai dengan standart yang telah diatur dalam Permendagri No. 59 Tahun 2021 Tentang Penerapan Standar Pelayanan Minimal, dan regulasi lainnya atau ada target yang harus dicapai dalam skala waktu tertentu. Sehingga bisa dievaluasi dan dapat diukur dengan indikator yang jelas. Misal dengan tagline budayakan ”pelayanan produktif” jika tidak mau memakai pelayanan prima.

Berapa seharusnya anggaran untuk kepulauan yang ideal?
Untuk anggaran ini saya kira bervariasi khususnya alaokasi dana desa (ADD) satu pulau kecamatan dengan pulau kecamatan yang lainnya berbeda jumlah desanya, kecuali untuk kecamatan kepulauan yang sama jumlah desanya dengan kecamatan di daratan maka kecamatan kepulauan harus dilebihkan dengan mempertimbangkan banyak aspek untuk terpenuhinya kebutuhan masyarakat kepulauan. Misalnya anggaran pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang jauh berbeda dengan di daratan. Kemudian dalam pencairan dana atau anggaran ini bersihkan dari pungli-pungli yang mengintai pencairan anggaran tersebut.

*Bagaimana pengamatan Anda terkait kinerja wakil rakyat dari kepulauan?*
Sementara ini kinerja wakil rakyat yang berasal dari dapil kepulauan tidak ada bedanya dengan anggota dewan dari dapil yang lain. Menggantungkan harapan terhadap anggota dewan dari kepulauan tidak jauh dengan ungkapan ”malappae mano’ ngabeng”. Artikulasi dan agregasi kepentingan terhadap aspirasi rakyat oleh wakil-wakil rakyat dari dapil kepulauan ibarat ”jauh panggang dari api”. Semua itu dianggap selesai ketika upaya memperoleh target suara untuk menjadi anggota dewan. Sehingga urusan rakyat lebih banyak dilimpahkan kepada pihak eksekutif atau kepada pemerintah daerah. Memang tidak semuanya begitu tapi budaya kooptasi sistem seperti itu bukan lagi menjadi rahasia umum di kalangan ’anggota dewan yang terhormat’ itu.

*Harapan Anda terhadap pemerintahan Sumenep memasuki tahun ke-3?*
Sebagai bagian dari masyarakat kepulauan, khususnya dalam memasuki tahun ke-3 pemerintahan daerah Sumenep kami berharap adanya pembenahan infrastruktur darat dan laut, serta infrastruktur udara dengan membangun lapangan terbang atau landaan pacu untuk pesawat udara sebagai pelayanan alternatif bilamana kondisi cuaca tidak memungkinkan untuk ditempuh dengan jalur laut. Untuk infrastrutur udara ini sebenarnya tidak hanya untuk menjadi alternatif bagi masyarakat, akan tetapi menjadi jalur udara yang dapat dimanfaatkan seluruh lapisan masyarakat, baik pejabat maupu stakeholder yang akan membuka akses membangun dan berinvestasi di kepulauan yang pada akhirnya dapat meminimalisir terjadinya disparitas kepulauan, social disappointed (kekecewaan masyarakat) kepulauan, social jab (kesejangan sosial) antara daratan dan kepulauan. Jika hal ini dapat terwujud dengan baik maka lebih dari separoh kekecewaan masyarakat kepulauan sudah terobati. Infrastruktur udara ini akan memudahkan pejabat dan elite kekuasaan daerah dalam melakukan koordinasi, memberikan pelayanan yang dapat bersentuhan langsung dengan masyarakat bawah (lower class) dengan kondisiyang lugas. Hal ini sangat relevan dengan janji wakil bupati (wabup) Sumenep untuk berkantor di kepulauan dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat, serta melakukan kontrol langsung terhadap aparat di tingkat bawah. Namun sangat disayangkan hingga saat ini sepertinya sama dengan lagu Deddi Dores di atas ”janji tinggal janji”. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *