JAKARTA, maduranetwork.com– Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menghadapi kontroversi dengan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas pencalonan kepala daerah dalam revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pada Rabu, 21 Agustus 2024, Badan Legislatif DPR (Baleg) menyepakati revisi Pasal 40 UU Pilkada yang menghidupkan kembali ketentuan ambang batas pencalonan yang sebelumnya dinyatakan inkonstitusional oleh MK.
Keputusan ini diambil hanya sehari setelah MK mengeluarkan putusan dalam perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang menyatakan bahwa ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah dalam Pasal 40 Ayat (1) UU Pilkada melanggar UUD 1945. MK memutuskan bahwa syarat pencalonan kepala daerah harus didasarkan pada perolehan suara sah partai politik di pemilu anggota DPRD, disesuaikan dengan jumlah penduduk dalam daftar pemilih tetap (DPT).
Namun, dalam revisi yang disepakati oleh DPR, aturan ambang batas pencalonan kepala daerah untuk partai politik (parpol) yang memiliki kursi di DPRD tetap berlaku, dengan syarat 20 persen kursi atau 25 persen suara sah.
Sedangkan untuk parpol non-parlemen, syarat ambang batas pencalonan ditetapkan berdasarkan perolehan suara sah berkisar 6,5-10 persen tergantung pada jumlah DPT di daerah tersebut.
Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi mengklaim bahwa revisi tersebut telah mengakomodasi sebagian dari putusan MK dengan memberikan kesempatan kepada parpol non-parlemen untuk mencalonkan kepala daerah. Namun, proses revisi yang berlangsung cepat dan tanpa kesempatan bagi fraksi-fraksi untuk memberikan pendapat menimbulkan kekhawatiran, terutama dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
TB Hasanuddin, anggota Panitia Kerja (Panja) dari Fraksi PDI-P, mengkritik keputusan tersebut. Ia menyayangkan bahwa revisi UU Pilkada tetap mempertahankan ambang batas yang dianggap inkonstitusional oleh MK. Menurutnya, revisi hanya mengubah ketentuan untuk parpol non-parlemen tanpa memperhatikan keputusan MK yang berlaku untuk semua pihak.
“Perubahan yang terjadi hanya pada Pasal 40 Ayat 2, dan ini bertentangan dengan keputusan MK. Kami akan membuat nota khusus penolakan jika keputusan ini tetap dipaksakan,” tegas Hasanuddin.
Menanggapi hal ini, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Supratman Andi Agtas menyatakan bahwa pemerintah akan mengikuti keputusan DPR. “Kalau sudah disepakati, pemerintah ikut DPR,” ucapnya.
Revisi UU Pilkada yang diputuskan hari ini memunculkan berbagai reaksi, terutama mengenai kepatuhan terhadap putusan MK dan dampaknya terhadap sistem demokrasi di Indonesia. Para pengamat dan tokoh politik mengharapkan agar proses legislasi ini tetap berpegang pada prinsip-prinsip konstitusi demi keadilan dan transparansi dalam pemilihan kepala daerah di masa depan. (red)