Oleh: Moh. Wardi
Studi ilmiah tentang pengobatan tradisional dan pengobatan alternatif di Madura pernah dilakukan oleh Roy Edward Jordaan, Dia telah meneliti tentang Folk Medicine in Madura (Indonesia).
Penelitian Jordaan pada riset penulisan disertasinya pada tahun 1980-an menghasilkan temuan deskripsi tentang berbagai tradisi unik mengenai pengobatan rakyat yang dilakukan oleh masyarakat Sumenep Madura (Leiden, 1985). Artikel yang berjudul “Tombuwan in the Dermatology of Madurese folk-medicine” (KITLV, 1982). Secara spesifik, Jordaan mengulas dengan khusus dan detail pengobatan rakyat untuk penyakit kulit berdasarkan pengetahuan lokal masyarakat di Sumenep.
Artikel itu menyebutnya sebagai dokter pribumi yang selalu menjadi tempat konsultasi penyakit “tombuwen/bu-tombu” “panyaket kole’/panyaket dhaging/penyakit kulit” disana ada istilah “poro dalem” “poro lowar” “poro segi” “roteng” “tampek”.
Masyarakat Sumenep Madura kala itu, mengenal istilah pengobatan tradisional/pengobatan alternatif dengan berkunjung ke “tabib” “dukun djapa” “dukon berrit” “dukon bur-sembhur”.
Beragam metode yang dilakukan oleh para dokter pribumi ini, di antaranya membacakan mantra pada gelas agar diminum oleh pasiennya. Ada juga yang sambil mengunyah daun sirih kemudian dioleskan kepada tubuh penderita dan biasanya sambil memberikan saran/petunjuk lainnya untuk kesembuhan penyakit pasiennya.
Bagi pasien yang sudah sembuh, mereka memberikan imbalan/pangestoh pada “tabib” “dukun djapa” “dukon berrit” “dukon bur-sembhur”. Biasanya berupa ayam kampung beserta telurnya, lengkap dengan hidangan nasi, ikan dan kuahnya, sebagai simbol “mabalih copa”/mengembalikan ludah (returning the spittle). (https://www.jstor.org/stable/27863405).
Penulis dan pembaca yang merasa kelahiran 1980-an, sebaya dengan studi ilmiah yang telah dilakukan oleh Roy Jordaan ini meneguhkan dan mengokohkan mimbar akademik Disertasi Roy Jordaan bahwa pengobatan tradisional dan pengobatan alternatif ini memang nyata secara teoritis dan praktis di Pulau madura. Penulis masih ingat betul waktu kecil di usia 5-10 tahun, anak-anak seusia saya sering kena “penyakit mata” dan menular dengan cepat pada anak yang lain.
Entah karena waktu itu sering mandi di sungai sampai berjam-jam atau bahkan karena kekurangan gizi, hehe…
Cara yang dilakukan oleh masyarakat dan orang tua kita dahulu, membawa ke dukon sembhur dan keesokan harinya berangsur sembuh.
Madura tidak hanya dikenal dengan dukunnya, bahkan tanaman dan jamu tradisional di Madura jauh sebelumnya telah populer. Misalnya tanaman tradisional Beluntas. Tanaman dengan nama Ilmiah Pluchea indica ini memiliki khasiat bisa menyembuhkan nyeri perut. Biasanya para kaum hawa penikmat tanaman hias pagar alami ini.
Ada pula tanaman Koddu’/Mengkudu, masyarakat ilmiah mengenalnya Moronga Citrifolia. Biasanya menjadi konsumsi penderita kencing manis. Kemudian, ada juga tanaman Talpak Tana, bahasa latinnya Elephantopus Scaber. Biasanya, dulu tumbuh di halaman dan pekarangan rumah. Tanaman ini untuk penderita Anemia. Entah kemana tanaman ini semua, pekaragan kita hari ini penuh dengan garasi, teras dan kanopi/galvalum.
Ida Dayak, dengan pemilik nama Ida Andriani menjadi sebuah fenomena sosial, menjadi rekomendasi kajian lanjutan teman-teman fakultas sosial/fakultas dakwah/fakultas kesehatan. Ida Dayak sebagai orang yang ahli pengobatan alternatif spesialis tulang dengan pemberitaan yang sangat massif memperkenalkan lebih luas eksistensi suku asli pulau kalimantan.
Pengobatan alternatif ala Ida Dayak dengan pengobatan pada tulang ini, memiliki sisi kesamaan pengobatan yang ada di suku Madura.
Masyarakat suku Madura mengenalnya dengan istilah “dukun potong” atau jawa mengenalnya “sangkal putung”. “Dukun potong” merupakan pengobatan alternatif penyambungan atau pembenahan tulang yang patah/retak/bengkok akibat kecelakaan/jatuh dengan metode tradisional tanpa harus menjalani pembedahan/operasi.
Waktu kecil, saya punya kebiasaan unik, ekstrim dan liar, diantaranya waktu musim dhuwe’/anggur madura pernah jatuh dari pohonnya. Main bola jalanan dengan tanpa sadar menendang batu karang, bersepeda ontel/sepeda gunung dengan gaya balapan liar. Permainan ekstrim ini tidak hanya mengalami dan kena “poro lowar”, tetapi juga “poro dalem” dalam pandangan Roy Jordaan, alias patah tulang/potong. Lantas, kemana tempat berobat masa itu? Ternyata orang tua tidak memilih jalan medis atau Rumah Sakit. Mungkin karena ke-awaman mereka, dan yang pasti tidak punya duit…
Orang tua membawa saya ke “dukun potong” namanya “Bu Martina”. Sosok perempuan yang ahli tulang dengan metode pijat urut pada bagian yang patah, rumahnya berlokasi di Desa sebelah yaitu Karangsokon Guluk-Guluk Sumenep.
Pengobatannya melalui pijat dan urut dengan minyak kelapa. Alhamdulillah dengan menahan rasa sakit berbunyi “krowak-krowak”, lengan bisa pulih seperti sedia kala. Biasanya menunggu beberapa hari sambil lalu konsultasi dan kontrol secara berkala.
Di tempat lain ada “Pak Ra’e”, tepatnya di Dusun Maddis, Desa Blumbungan, Kecamatan Larangan, Kabupaten Pamekasan.
Ada juga “Pak Sunar” di Desa Keppo, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan. Selain itu, juga ada “Pak Har” yang berlokasi di Desa Kertagena, Kecamatan Kadur, Pamekasan. “Dukun Potong” ini merupakan ahli tulang dengan keahlian khusus, metode khusus, ramuan tradisional khusus, dan bahkan memiliki mantra-mantra yang khusus pula sebelum mengobati para pasiennya.
Masyarakat Madura memilih pengobatan alternatif ini karena beberapa faktor, di antaranya sugesti dan kepercayaan masyarakat Madura kepada “dukun potong” memiliki frekuensi yang lebih tinggi daripada harus menempuh proses bedah/operasi, yang orang Madura menyebutnya diberi “platina” pada bagian yang patah.
Rasa sosial dan empati para “dukun potong” sama dengan Ida Dayak.
Semoga jasa dan pengabdian mereka semua bermanfaat, Amii.
Fenomena sosial ini menjadi peluang sekaligus tantangan baru dalam khazanah metodologi keilmuan dan kesehatan baik dari sisi ontologis, epistimologis maupun aksiologisnya…
Hidup Mahasiswa…
Hidup jua para dosen-dosen dan dupaknya…he
Hidup perkumpulan “dukun potong”…
_Penulis merupakan seorang Dosen Pascasarjana IDIA Al-Amien Prenduan Sumenep_.