Imron Rosyadi: Saatnya Adu Konsep dan Gagasan

POLITIKA479 Dilihat

MENGHADAPI Pemilu 2024 kita masih dibayang-bayangi kekhawatiran adanya “perpanjangan waktu” polarisasi politik pascapemilu 2019. Sejumlah pihak setuju polarisasi politik harus diakhiri. Lalu pertanyaannya, siapa yang sanggup dan mampu menghentikannya? Nah, bagaimana polarisasi politik yang timbul di Indonesia, khususnya di Madura? Apakah masih dalam batas wajar atau sudah parah? Ada pihak mengatakan polarisasi yang terjadi masih dalam batas normal. Namun ada juga yang tegas bilang polarisasi politik punya potensi berbahaya jika tidak “dikelola” dengan bijak. Berikut pandangan Ketua DPRD Bangkalan periode 2016-2019, Imron Rosyadi, SE, M.Si kepada Rasul Junaidy dari maduranetwork.

————————————————————————————
Mengapa polarisasi politik terjadi?
Sebelum membahas mengapa polarisasi politik itu terjadi, sebelumnya kita sepakati bahwa yang dimaksud polariasi politik adalah keterbelahan masyarakat sebagai respon dari kondisi atau momentum politik.
Polarisasi politik mesti terjadi dalam sistem politik demokrasi elektoral, tinggal kemudian derajat keterbelahannya seperti apa. Dalam sistem elektoral seringkali isu “identitas” dijadikan sebagai salah satu komoditas politik untuk mendulang simpati dan dukungan dari para pemilih yang ujungnya adalah elektoral itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, dengan keberagaman kultur dan budaya, identitas seperti suku maupun agama merupakan komoditas yang seksi untuk dimainkan.

Apakah polarisasi politik adalah sesuatu yang wajar dalam perbedaan politik?
Saya kira dalam kontek dan derajat tertentu, polarisasi itu merupakan hal yang normal. Sebab sistem demokrasi yang menggantungkan pada elektoral membuat para kontestan mencari irisan-irisan identitas yang bisa menjadi alasan untuk memilih. Menurut pandangan saya, polarisasi politik yang terjadi di Indonesia saat ini termasuk juga di Madura, muaranya masih bukan pada ide, konsep gagasan atau bahkan program kebijakan. Tapi masih pada identitas yang sangat sempit dan spesifik, agama misalnya. Menurut saya politik identitas sah-sah saja ketika pesan yang dikemukakan saling menghargai suku dan budaya luhur, menghormati apapun agama yang dianut. Bukan justru merendahkan kepercayaan, suku, dan budaya tertentu.

Pemilu 2024 mendatang, apakah polarisasi politik kembali menajam seperti Pemilu 2019?
Menurut saya, Pemilu 2024 polarisasi politik masih akan tetap kembali terjadi seperti pada Pemilu 2019. Indikasi itu sudah mulai muncul bahkan jauh sebelum proses pencalonan presiden dimulai. Pada tahapan bakal calon presiden saja, para simpatisan atau pendukung bakal calon presiden tertentu sudah saling “menjatuhkan“ calon yang tidak didukungnya. Di media sosial, bibit-bibit polarisasi itu sudah mulai mencuat. Namun begitu, polarisasi politik di Pemilu 2024 bisa tidak begitu menajam apabila tidak hanya ada dua kutub yang saling berhadapan. Artinya, apabila terdapat lebih dari dua pasangan calon yang berkontestasi, maka tingkat polarisasinya tidak akan terlalu tajam.

Bisakah polarisasi politik di Pemilu 2019 ditekan di 2024?
Dalam upaya menekan derajat polarisasi politik yang membahayakan, menurut saya langkah yang paling efektif adalah dengan metode top down. Para kontestan harus berkomitmen untuk tidak menggunakan isu identitas sebagai komoditas untuk mendulang elektoral. Belajar dari pengalaman Pemilu 2019, tingkat polarisasi yang luar biasa tajam dapat kemudian ditekan dan mereda ketika Pak Prabowo berbesar hati untuk mau berada di pemerintahan Pak Jokowi sebagai Menteri Pertahanan RI. Meskipun dengan costnya menurut saya sungguh-sungguh cukup besar, yaitu salah satu basis elektoralnya kemudian hilang. Namun hal itu saya anggap sebagai bentuk pengorbanan yang tidak mudah dan sangat luar biasa dalam rangka ishlah dan menyatukan rakyat yang terpolarisasi politik pada saat itu (Pemilu 2019.)

Menurut anda, apakah polarisasi politik selalu berdimensi negatif (buruk)?
Semua hal pasti punya dua dimensi, dua kutub, yaitu positif-negatif. Polarisasi yang bisa terkendali saya kira itu masih positif, asalkan tidak sampai menimbulkan konflik horisontal yang membahayakan. Hubungan antara pemilih dengan yang dipilih tetap terjaga dengan baik. Dan itu akan lebih mempermudah proses untuk menghasilkan kebijakan yang buttom up.

Ada kekhawatiran besar menguatnya polarisasi politik bisa merusak kepercayaan di masyarakat?
Kalau itu tergantung sudut pandang saja, dari sudut mana melihatnya. Dan saya kira itu paradoks, justru kalau tidak ada trust maka nggak akan ada polarisasi di masyarakat. (“)

Biodata
Imron Rosyadi, SE., M.Si.
S-1, Universitas Trunojoyo Madura Fak. Ekonomi
S-2, Universitas Airlangga Surabaya Program Study Pengembangan SDM (PSDM)
Ketua DPRD Bangkalan 2016-2019
Sekretaris DPC Partai Gerindra Bangkalan 2012 – Sekarang
Koordinator Presidium MD. KAHMI Bangkalan 2018 – 2023

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *