Idul fitri secara bahasa bermakna kembali ke fitrah. Hari Raya Idul Fitri di Indonesia identik dengan semangat kembali ke fitrah, yakni kembali pada kesucian dan kemurnian diri sebagai manusia.
Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, kulllu mauludin yulada ‘alal fitrati, demikian bunyi salah satu Hadis Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam. Karena itu, pada momen ini masyarakat Islam Indonesia menyambutnya dengan budaya bersalam-salaman dan bermaaf-maafan.
Sejauh pengalaman penulis, semangat kembali ke fitrah pada momen lebaran fitrah bagian dari ciri khas Islam yang berkembang di Indonesia. Bahkan semangat masyarakat Islam di Indonesia menyambut hari raya ini bisa dikatakan lebih meriah dari pada lebaran kurban. Sementara yang berkembang di tempat lain, khususnya di wilayah Timur Tengah, lebaran kurban justru disambut secara lebih meriah dibanding lebaran fitrah.
Politik dan Kehidupan
Kembali ke fitrah yang disertai dengan semangat bersalam-salaman dan bermaaf-maafan menjadi puncak nilai dari Hari Raya Fitrah setelah umat Islam berpuasa Ramadhan selama satu bulan penuh. Bila dipahami dalam bahasa proses dan hasil, puasa Ramdhan satu bulan penuh adalah anak tangga “meditasi” dan “pertapaan” untuk mencapai nilai puncak fitrah dan kesucian diri. Proses meditasi dan pertapaan ini dibutuhkan untuk menetralisir pelbagai macam racun hidup yang tak jarang sampai pada tahap menghalalkan yang haram atau yang terlarang.
Dunia politik kurang lebih mengalami hal kurang lebih sama. Di mana oknum-oknum tertentu acap memaknai dan mengamalkan politik secara haram, bahkan menghalalkan segala macam cara. Hingga akhirnya politik hampir identik dengan hal-hal negatif seperti korupsi, memperkaya diri sendiri dan keluarga, pamer harta kekayaan, perebutan kekuasaan dengan segala macam cara, bahkan kadang-kadang juga perbuatan yang berbau pengkhianatan.
Sementara proses yang ditempuh untuk mendapatkan kekuasaan tak jarang melalui jalan-jalan haram yang justru menyengsarakan masyarakat luas, seperti provokasi, menganggap kelompok sendiri paling benar, menganggap lawan politik sebagai keburukan yang akan menghancurkan kehidupan bangsa dan negara, menggunakan politik pecah belah, memolitisasi agama dan keyakinan yang belakangan dikenal dengan istilah politik identitas, dan praktik-praktik kotor lainnya.
Hingga akhirnya politik dan kekuasaan seakan hanya “baik dan enak” bagi para pemenang dan pemegang kekuasaan. Itu pun enak dan baik dalam pengertian di atas, bukan dalam pengertian sejati. Sementara bagi masyarakat luas, hampir tak ada yang baik atau yang enak dari politik. Mengingat politik acap dipraktikkan sebagai perbuatan menghalalkan segala macam cara dan korupsi.
Mengingat pelbagai macam bentuk dan dampak buruk dari sebuah kekuasaan maupun politik, tak heran bila ada ulama yang begitu antipati terhadap kekuasaan maupun politik. Gamal Al-Banna yang tak lain adik kandung Hasan Al-Banna, contohnya, menyebut politik atau kekuasaan tak ubahnya api yang membara. Api itu akan membakar apa pun yang ada di sekitarnya, khususnya yang bersentuhan secara langsung. As-sultotu narun hamiyah, jahimun yahtariqu biha kullu man yahtaqqu ihtikakan mubasyiran (kekuasaan tak ubahnya seperti api, akan membakar apa pun yang bersentuan langsung dengannya).
Bahkan ulama pembaharu selevel Muhammad Abduh menyebut politik atau kekuasaan tak ubahnya buah Zaqqum yang diyakini sebagai buah-buahan di dalam neraka. Abduh mengkritik keras penyelewengan kekuasaan sembari meganalogikan politik dengan buah Zaqqum sebagaimana termuat dalam ayat 64-66 surat As-Saffat: Sungguh, itu adalah pohon yang keluar dari dasar Neraka Jahim; mayangnya seperti kepala-kepala setan; maka sungguh, mereka benar-benar memakan sebagian darinya (buah pohon itu), dan mereka memenuhi perutnya dengan buahnya (Zaqqum).
Fitrah Politik
Secara fitrah, politik tak lain adalah kebaikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), politik bermakna (pengetahuan) tentang ketatanegaraan, segala urusan dan tindakan mengenai pemerintahan dan cara bertindak. Sementara dalam Bahasa Arab, politik diterjemahkan menjadi siyasah yang berasal dari akar kata sasa yasusu yang bermakna mengurus, memerintah atau merawat, memelihara.
Dengan demikian, politik berarti mengurus atau merawat kehidupan dan kekuasaan untuk kebaikan masyarakat luas, bukan hanya untuk kebaikan para politisi bersama keluarga dan kelompoknya.
Pada tahap tertentu, kemampuan politik bisa disebut sebagai kemampuan manusia yang dipercaya oleh Allah untuk mengatur kehidupan alam raya ini. Yaitu ketika Allah mengangkat dan menjadikan manusia sebagai khalifah atau pengganti Allah di muka bumi (Qs. Al-Baqarah: 30) dengan mandat khusus, yaitu memakmurkan alam raya (Qs. Hud: 61).
Oleh karenanya, secara fitrah manusia bisa disebut sebagai mahluk politik (khalqun siyasiyun). Sebagaimana secara fitrah, politik dapat disebut sebagai kemampuan manusia yang murni dan asasi. Di sinilah pentingnya politik dikembalikan pada fitrahnya, sebagaimana manusia kembali kepada fitrahnya.
Pada momen idul fitri seperti sekarang, sejatinya semua pihak kembali dan mengembalikan politik pada fitrahnya, khususnya bagi para politisi yang mendapatkan mandat dari konstitusi dan juga kitab suci untuk menjalankan amanah membangun Republik sebaik-baiknya.
Dalam hemat penulis, ada tiga tahapan terkait pengembalian politik pada fitrahnya. Pertama, pengembalian paling dini seperti pada tahap penyusunan nama-nama calon pemimpin yang akan disodorkan oleh partai politik kepada masyarakat, mulai dari nama-nama calon pemimpin di ranah legislatif hingga nama-nama capres-cawapres di ranah eksekutif.
Melalui semangat fitrah politik, pencalonan nama-nama calon pemimpin yang ada bisa dilakukan dengan pertimbangan kemampuan pribadinya untuk bertindak dan menggerakkan seluruh organ pemerintahan terbentuk nantinya sesuai kemaslahatan negara dan bangsa. Karena sebagaimana kaidah fikih yang sangat terkenal, kebijakan seorang pemimpin sejatinya atas dan demi kemaslahatan bangsa dan negara (tasorruful imam ‘alar roiyah manutun bil maslahah).
Kedua, tahapan masa kampanye. Tahapan ini sangat membutuhkan adanya semangat fitrah politik, hingga kampanye yang ada berjalan secara positif. Bukan justru terjebak dalam semangat kampanye negatif dalam bentuk pecah-belah, politisasi agama maupun keyakinan, menganggap lawan politik tak ubahnya musuh yang akan menghancurkan negara, menggunakan politik uang dan lain sebainya.
Dari pada kampanye negatif, sejatinya semua pihak menggunakan kampanye positif. Kampanye positif bisa dilakukan dalam bentuk eksplorasi kemampuan calon yang ada, tanpa menjelek-jelekkan calon pemimpin yang lain. Hingga kebersamaan dan persatuan masyarakat tetap terjaga.
Ketiga, tahapan pengelolaan kekuasaan bagi mereka yang berhasil keluar sebagai pemenang dan mendapatkan amanah dari masyarakat. Ini adalah tahapan inti sekaligus paling penting.
Kekuasaan dan amanah yang ada harus dipahami dan dijalankan sebagai mandat langsung dari rakyat. Kalaupun pencalonannya dicalonkan oleh partai politik (sekali lagi pencalonan), tapi yang menjadikannya sebagai pemimpin adalah rakyat, bukan partai politik. Karena itu, loyalitas dan pengabdian pemimpin terpilih harus kepada rakyat dan demi kepentingan mereka.
Selamat Hari Raya Idul Fitri bagi umat Islam di mana pun. Selamat kembali ke fitrah bagi masyarakat secara umum, selamat kembali ke fitrah politik bagi para politisi semua. Semoga kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih baik ke depan.
Penulis adalah alumnus Al Azhar Kairo Mesir, pengamat politik timur tengah dan Direktur AIDA (Aliansi Indonesia Damai), Jakarta. Pernah belajar di Pondok Pesantren Darul Ulum, Banyuanyar, Pamekasan.