JAKARTA, maduranetwork.com – Putusan sengketa Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi sorotan banyak pihak. Tidak hanya para pasangan calon (paslon) yang bersengketa, tetapi juga seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Putusan mengenai sengketa tersebut bukan hanya akan menentukan siapa Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2024 – 2029 mendatang, tetapi juga akan memperdebatkan dua mazhab hukum yang seolah-olah saling bertentangan, yaitu hukum responsif versus hukum positif.
Hukum responsif diperjuangkan oleh pemohon/penggugat paslon 01 dan 03, yang membawa sengketa proses pemilihan untuk diadili oleh MK, meskipun menurut hukum positif yang dipegang oleh tergugat KPU, penyelesaian sengketa proses menjadi kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI.
Dalam konteks ini, jika MK mengacu pada hukum positif, maka gugatan pemohon/penggugat harus ditolak. Namun, jika MK memilih hukum responsif, MK berpotensi untuk memeriksa dan mengadili sengketa proses demi keadilan hukum substantif.
Tetapi, apakah pemohon/penggugat benar-benar mengajukan argumen-argumen gugatannya berdasarkan hukum responsif dan tergugat KPU mengikuti hukum positif? Pertanyaan ini mendapat tanggapan dari Pembina Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Madura (YLBH-Madura), Kurniadi, SH.
Menurut Kurniadi, gugatan pasangan calon nomor urut 01 dan 03 tidak sepenuhnya memenuhi syarat sebagai hukum responsif karena tuntutan mereka, terutama terkait diskualifikasi dan pemungutan suara ulang, tidak sesuai dengan prinsip hukum responsif.
Kurniadi menekankan bahwa jika pasangan calon nomor urut 02 Prabowo – Gibran tidak memenuhi syarat administrasi, maka petitum gugatan seharusnya menuntut agar perolehan suara Prabowo-Gibran dinyatakan batal demi hukum. Atau, perolehan suara mereka dianggap tidak ada sama sekali.
Lebih lanjut, Kurniadi menyatakan bahwa jika terdapat kekeliruan dari KPU terkait penetapan paslon dan hasil pemilu, solusi yang tepat seharusnya adalah melantik dan mengesahkan pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak kedua setelah Prabowo-Gibran, yaitu pasangan Anies Rasyid Baswedan – Muhaimin Iskandar.
“Bila terbukti tidak memenuhi syarat administrasi, Anies-Muhaimin seharusnya ditetapkan sebagai pasangan calon yang berhak diangkat dan dilantik sebagai presiden,” tegas Kurniadi.
Pengacara berjuluk “Raja Hantu” ini juga menegaskan bahwa pemungutan suara ulang bukanlah keputusan yang tepat dan adil karena merugikan peserta pemilihan presiden dan wakil presiden serta menjadi beban keuangan negara.
Kontroversi ini menunjukkan kompleksitas dalam penegakan hukum dan proses demokrasi di Indonesia, yang terus menjadi perdebatan dalam arena politik. (red)