Bagi generasi milenial, mendengar istilah Mamaca terasa asing. Seni pertunjukan yang berkembang di lingkungan masyarakat komunal, seperti Madura, Mamaca semakin “dijauhi” dan memudar eksistensinya seiring dengan percepatan perubahan zaman.
Berbeda dengan Pak Matrogo, tak ingin Mamaca tergerus oleh zaman, pria berusia 65 tahun ini bertekad menghabiskan sisa hidupnya untuk melestarikan Mamaca. Sekitar 50 tahunan, warga Dusun Tarebungan, Desa Kalianget Timur, Sumenep ini belajar dan mendalami Mamaca sejak masih SD secara otodidak.
Di Sumenep sendiri perkumpulan Mamaca jumlahnya hanya bisa dihitung dengan jari. Di Kalianget saja ada dua yang mampu bertahan hidup, Irama Merdeka dan Sinar Nyomo. Kelompok Pak Matrogo, Irama Merdeka diadakan 15 hari sekali secara bergiliran di antara anggotanya.
Ketika berkumpul, mereka menghabiskan satu malam untuk berkomtemplasi dengan tembang-tembang Mamaca yang penuh makna. Digelar malam hari karena suasanya mendukung, syahdu, sunyi, hening, dan menenangkan. Selain itu, jenis budaya dengan medium suara ini tentu saja peran pengeras suara (biasanya menggunakan TOA) di malam hari lebih efektif dalam memperluas area jangkauan agar didengar oleh banyak orang.
Bersama teman-temannya, sepertri Pak Abdurahman BA, Moh. Ali, Mastur, Daud, Saleh, Sahe, Sup, dan Said mereka bergantian membaca Kitab Mamaca, antara lain Nur Bhuwwat (kisa Nabi Muhammad), Me’raj (Isra’ Mi’raj), dan sejarah penyebaran agama Islam.
Pak Matrogo sendiri seringkali mendapat undangan masyarakat yang hendak mengadakan selamatan ruwatan (arokat). Dalam budaya Madura, katanya, Mamaca memiliki peran penting dalam ritus tradisinya, yaitu ritual memohon doa-doa keselamatan. Di antara arokat itu seperti rokat desa, keselamatan anak, pernikahan, khitaman, kandungan, rokat tase’ (keselamatan laut), dan lain sebagainya
“Kalau tahu maknanya, isi Mamaca menceritakan awal kehidupan (kelahiran) manusia hingga pada akhirnya kembali kepada Sang Maha Kuasa. Didalamnya juga terdapat doa-doa keselamatan. Orang biasa memaknainya sebagai ngaji abâ’ (mengenal diri) karena didalamnya berproses dalam membentuk adab (tatakrama),” ujarnya.
Mantan pegawasi Dinkes Sumenep ini menjelaskan bahwa budaya Mamaca merupakan cerminan, bahwa leluhur kita memiliki kecerdasan yang luar biasa dalam menciptakan karya budaya beserta simbol-simbol filosofi yang agung. ”Saya yakin, ini semua untuk diwariskan kepada anak cucunya,” katanya.
Saat berbincang dengan madura network, sesekali Pak Matrogo memperagakan sedikit Mamaca dengan penuh penghayatan. Suaranya khas, tebal, menenangkan, dan cengkoknya merdu. Dalam Mamaca, ia bercerita banyak tentang simbol-simbol filosofi terkait kehidupan, tatakrama, pentingnya Islam, kesopanan, dan kehormatan.
Menyinggung sejarah Mamaca di Madura, Matrogo mengaku tidak tahu pasti. “Ada yang berpendapat muncul pada akhir masa Majapahit dan ada yang bilang media dakwah wali songo ketika hendak menyebarkan Islam ke Madura,” jelasnya.
Menurut dia, Mamaca sendiri memiliki 11 jenis beragam, masing-masing mamaca Mijil, Sinom, Maskumambang, Kasmaran, Kinanti atau Salangit, Artate, Lambangsari, Pangkor, Durma, Magatruh, dan Pucung. “Mamaca bentuknya hampir sama dengan seni Macapat Jawa. Yang membedakan, Mamaca Madura memiliki dua peran penting yakni tokang maca (pembaca) dan tokang tegges (penafsir).”
Meski para pegiat Mamaca kini hanya bisa dihitung dengan jari, kesetiaan dan upaya Matrogo dan teman-temannya dalam mengenalkan tembang Mamaca agar keberadaannya tidak sirna dimakan zaman layak dan patut mendapat apresiasi.
Wahai orang Madura, kalau bukan kita yang melestarikan budaya ini, lalu siapa lagi? (rj)
Mamaca, Tembang Madura Penuh Filosofi Kehidupan
