PAMEKASAN, maduranetwork.com- Ketua KPU Pamekasan periode 2014-2019, Moh. Hamzah S.Sos, M.Si mengatakan bahwa polarisasi itu akan tetap ada meski dalam masyarakat terdapat pilihan-pilihan politik yang berbeda. Karena itu polarisasi politik ini sangat erat kaitannya dengan pilihan-pilihan politik (political choices) dalam pemilihan umum.
Apalagi, katanya, masyarakat kita masih terkotak–kotak dengan partai politik multipartai saat ini. ”Menurut saya polarisasi politik wajar saja terjadi karena hal tersebut bagian dari efek multi partai dan menjadi political rights (hak-hak politik) masyarakat,” jelasnya.
Pengajar Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Madura (Unira) Pamekasan ini mengaku sulit menghindari polarisasi politik. ”Mau tidak mau harus kita akui bahwa polarisasi politik itu merupakan produk sistem pemilu yang membelah masyarakat dalam dua kutub yang berbeda. Perbedaan kutub ini juga bagian dari suatu kebebasan berserikat berkumpul, dan berpendapat yang diatur dalam UUD 1945 pasal 28,” urainya.
Dia menilai tidak mungkin jika membatasi apalagi menghidari polarisasi politik. Namun demikian, polarisasi politik bisa meminimalisir agar tidak sampai membawa pada perpecahan di tengah masyarakat. Dalam hal ini yang harus disadari oleh semua pihak bahwa prinsip ’persatuan dalam keberagaman’ itu sangat penting. ”Jadi polarisasi politik ini sebisa mungkin kita akhiri bersamaan dengan berakhirnya semua tahapan dalam pemilu itu,” harapnya.
Dosen FH Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan 2004-2008 ini menjelaskan bahwa polarisasi politik tidak selalu berdimensi. Menurutnya justru pada satu sisi dengan polarisasi politik menjadi bagian dari pendidikan politik (political education) pencerdasan bangsa dalam merawat pilihan-pilihan aspirasi masyarakat secara mandiri tanpa intimidasi, tanpa tekanan-tekanan tertentu yang dapat menciderai kebebasan berpolitik (political freedom) bagi semua anak bangsa di negara demokrasi seperti Indonesia.
Namun demikian, pria asal Kangean ini menilai bahwa pada sisi yang lain polarisasi politk harus bisa di-manage dikelola dengan baik dan jangan sampai menimbulkan dampak politik yang tidak menguntungkan (politic negative side effect) bagi bangsa ini dengan kepentingan lima tahunan.
Soal adanya kekhawatiran bahwa menguatnya polarisasi politik bisa merusak kepercayaan (trust) di masyarakat, Hamzah menilai bahwa polarisasi politik adalah bagian dari artikulasi kepentingan (interesta rticulation) yang harus diakomodasi oleh negara.
”Kekhawatiran itu bisa saja. Tapi menurut saya kekhawatiran tersebut tidak berdasar. Public trust (kepercayaan publik) terhadap pemerintah sebagai produk pemilu tidak bisa diukur dengan polarissi politik yang terjadi,” tandasnya.
Dia menjelaskan bahwa kepercayaan publik terhadap pemerintah bukan bermula dari polarisai politik. Dia menganalogikan perbandingan dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.
Untuk perolehan suara yang terbanyak maka itulah yang mempunyai legitimasi hukum (formal legitimation) sebagai presiden dan wakil presiden terpilih, dimana kepercayaan publik terhadap kandidat atau pasangan calon presiden dan wakil presiden A itu sudah pasti lebih banyak ketimbang pasangan calon atau kandidat presiden dan wakil presiden lainnya (calon B, C dan seterusnya).
”Jadi singkatnya dari aspek public trust ternyata masyarakat lebih ’mempercayakan’ aspirasinya pada calon atau kandidat A daripada yang lainnya. Dengan demikian polarisai politik dalam masyarakat itu tidak akan merusak kepercayaan publik, akan tetapi kalau kekecewaan pasti terjadi. Tapi ingat bahwa kekecewaan itu tidak bisa dilegitimasi, tidak ada regulasi untuk itu,” tegasnya.
Menyoal dampak polarisasi politik di masyarakat, amatan Hamzah, dampak yang paling dirasakan oleh sebagian masyarakat adalah kekecewaan karena tidak sesuai dengan pilihan politik mereka sebagai negative side effect (dampak negatif) yang bisa saja bersifat sementara.
Biasanya dalam proses demokrasi, menurut Hamzah, kekecewaan itu dapat diobati dengan political acomodation (akomodasi politik) atau political colaboration (kolaborasi politik) dengan merangkul partai-partai politik yang berseberangan untuk duduk dalam komposisi kabinet atas nama kepentingan dan tugas negara.
”Dengan proses politik akomodasi seperti ini maka polarisasi politik khususnya negative side effect dapat meminimalisir termasuk perpecahan dalam masyarakat, sekaligus menghindari politik zero-sum game, dus juga sebagai positive side effect (dampak positif) yang harus disadari semua pihak,” ujar dosen STIA Al-Khairat Pamekasan 2019-2021.
Disinggung keuntungan dari polarisasi itu sendiri, pria paruh baya ini mengatakan bahwa keuntungan polarisasi tergantung bagaimana memahami atau memandang dari sudut pandang apa terhadap polarisasi politik itu sendiri.
”Kalau dilihat dari aspek pendidikan politik (political education) maka itu bagian pencerdasan politk bangsa atau warga negara untuk menghargai perbedaan pendapat yang terjadi kemudian di-manage dengan baik.”
Pendidikan politik atau pencerdasan politik bagi masyarakat akibat timbulnya polarisasi politik ini seyogyanya disikapi sebagai potensi ’pendewasaan politik’ pada semua anak bangsa untuk proses demokrasi yang lebih baik.
Sebaliknya bagi pemahaman atau pihak-pihak yang apologis polarisasi politik dianggap sebagai sumber atau bibit-bibit politik perpecahan (political split) yang tidak menguntungkan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sekretaris GP Ansor Pamekasan tahun 2003-2008 ini bilang polarisasi politik akibat perbedaan politik perlu dimanage untuk dijadikan cambuk dalam sikap yang ’maslahah’ yang dapat bermanfaat bagi semua, perbedaan yang membawa rahmat bagi kelangsungan proses demokrasi di Indonesia.
Lalu, siapa yang bertanggung jawab jika terjadi polarisasi politik di masyarakat?
”Berbicara tanggung jawab dalam polarisasi politik di masyarakat ya, kita semua mulai dari pemerintah, peserta pemilu, masyarakat secara keseluruhan. Pemerintah bertangggung jawab karena regulasi yang mengatur (sistem pemilu) menjadi kewenangan dari pemerintah.
Sementara peserta pemilu sebagai aktor politik dalam penyelenggaraan pemilu yaitu partai-partai politik yang mempunyai legal standing dalam kepesertaan pemilu tersebut. Selanjutnya masyarakat sebagai subyek dan obyek politik menyalurkan aspirasinya sesuai dengan pilihan politiknya masing-masing,” urainya.
Sebagai suatu implikasi politik jika terjadi polarisasi politik adalah adanya pihak-pihak yang merasa menang secara politis di satu sisi, dan adanya pihak-pihak yang merasa kalah secara politik pada sisi yang lain.
Sebetulnya, lanjut Hamzah, hal itu tidak perlu terjadi jika semua pihak menyadari bahwa dari awal sudah harus dibangun political engagement atau kontrak politik ”siap kalah siap menang”
Apabila hal itu diterapkan maka yang terjadi adalah saling menghargai pilihan politik masing-masing dan tidak akan terjadi implikasi negatif terhadap perpolitikan di negara kita tercinta ini.
Kepada penyelenggara pemilu, dia berpesan pentingnya sosialisasi terkait dengan penggunaan hak-hak politik warga negara dalam proses demokrasi. Penggunaan hak-hak politik masyarakat dalam pemilu ini didasarkan pada azas langsung, umum, bebas dan rahasia, serta jujur dan adil.
Sosialisai dan pencerahan politik kepada masyarakat menjadi penting bahwa pemilu lima tahunan merupakan proses demokrasi yang memberikan kebebasan kepada semua warga negara untuk turut serta dalam penyelenggaraan pemilu sebagai manifestasi pilihan-pilihan politik (political choices) mereka secara mandiri, independen, dan individual.
”Pilihan-pilihan politik ini juga yang harus dihargai sebagai wujud artikulasi kepentingan politik dalam penyelenggaraan demokrasi khususnya dalam periodisasi lima tahunan. Penyelenggara pemilu menetapkan regulasi yang memungkinkan terjadinya rekonsilasi politik untuk keutuhan bangsa dan negara. Apabila hal ini dapat dilakukan dengan baik maka polarisasi politik di tengah masyarakat tidak akan terjadi atau dapat dicegah atau diminimalisir dengan baik,” pesannya.
Selain penyelenggara pemilu, peran tokoh masyarakat sngat penting untuk dipertimbangkan dalam polarisasi politik masyarakat. Namun harus diakui bahwa sebagian dari tokoh masyarakat itu justru mejadi bagian dari aktor polarisasi politik tersebut.
Dia berpendapat bahwa bagi tokoh-tokoh masyarakat tertentu yang tergabung dalam partai politik sudah pasti menjadi bagian dari polarisasi politik tersebut karena mereka menjadi elite politk yang diharapkan mewarnai kebijakan-kebijakan partai dalam kontestasi politik.
”Lain halnya dengan tokoh-tokoh masyarakat yang betul-betul menjadi pengayom masyarakat dan tidak terkontaminasi kepentingan-kepentingan politik atau partai politik dan menjadi teladan di masyarakat. Mereka itu diharapkan menjadi ”guru masyarakat” atau ”guru bangsa” yang menempatkan kepentingan orang banyak di atas kepentingan kelompok atau partai politik tertentu,” pungkas kabid PTKP Badko HMI Jatim periode 1997-1999. (rasul junaidy)