Pemilu 2024 dalam Pusaran Polarisasi

POLITIKA447 Dilihat

SUMENEP, maduranetwork.com – SELAMAT datang Tahun Baru 2023 sekaligus selamat datang tahun politik. Tahun politik harus disambut gegap gempita disertai segala daya dan upaya dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ajakan ini penting karena tahun depan kita akan menghadapi pemilu serentak tahun 2024. Dua perhelatan politik akan digelar.

Dua pesta demokrasi akan menentukan nasib bangsa dan negara. Yaitu Pilpres (pemilihan presiden), Pileg (pemilihan legislatif) DPR RI, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta Pilkada (pemilihan kepala daerah), yaitu pemilihan gubernur, bupati, dan walikota.
Pemilihan umum (Pemilu) 2024 sendiri masih akan berlangsung sekitar 13 bulan lagi. Namun, bak bau buah Durian, bahaya polarisasi sudah menyengat dalam perbincangan di ruang-ruang publik.

Sementara dampak polarisasi politik yang menajam pascaPemilu 2019 masih menyisakan persoalan (psychological gap) yang hingga kini hawanya masih dirasakan oleh masyarakat.
Semua pihak tentu berharap polarisasi seperti yang terjadi pada Pemilu 2019 tidak boleh terjadi lagi pada Pemilu 2024. Setidaknya, sebisa mungkin tensinya pelan-pelan terus diturunkan.

Peneliti Charta Politika Indonesia, Mawardin, memberikan tawaran bahwa pada pemilu 2024 mendatang, kesadaran berdemokrasi para kontestan harus mulai beranjak dari ketegangan afektif emosional menuju ketegangan kognitif yang berciri dialogis dalam semarak pertarungan agenda programatik.
Muaranya, kenaikan partisipasi politik bukan hanya bersifat kuantitatif, tapi juga kualitatif. Partisipasi politik tidak lagi sekadar prosedural, tapi juga substantif untuk mendesakkan tuntutan perubahan.

Dengan cara itu, tambah Mawardin, partisipasi yang terdongkrak dalam polarisasi menuai berkah demokrasi.

Selain itu, kesadaran serta komitmen akan dampak dan keprihatinan polarisasi idealnya harus digagas oleh pemerintah bersama KPU, partai politik, Bawaslu, dan stakeholder pemilu lainnya. Sementara spirit dan keterlibatan masyarakat sipil, seperti media massa, akademisi, budayawan, mahasiswa, dan lainnya juga sangat penting perannya dalam mendorong proses kesadaran tersebut. Jika tidak, masyarakat akan kembali menjadi korban akibat polarisasi itu sendiri.
Polarisasi politik 2024 sebagai “kelanjutan” Pemilu 2019 memang menjadi sebuah kekhawatiran. Hal ini ditandai berbagai informasi dan pernyataan di media-media sosial, seperti isu asing-aseng, agama versus nasionalisme, isu dugaan adanya kecurangan pemilu, dugaan kriminalisasi bakal capres oleh institusi anti rasuah, isu khilafah, isu komunisme, dan sebagainya membuat kehidupan masyarakat tidak tenang. Prasangka negatif yang merebak sehari-hari juga menjadi faktor pendukung merenggangnya kohesi sosial dan pudarnya spirit keberagaman di masyarakat.

Polarisasi politik sendiri bukan merupakan fenomena baru dalam perpolitikan Indonesia. Luthfi Assyaukanie, dosen Universitas Paramadina seperti dimuat Media Indonesia.com mengatakan bahwa polarisasi pernah ada pada zaman Soekarno, yang berujung pada konflik massa tahun 1965. Menurut Dan Slater dan Aries Arugay (2018), jika dibandingkan dengan di negara-negara Asia lainnya, tingkat polarisasi di Indonesia sebetulnya tergolong rendah meski bahan bakar konflik di tengah masyarakat cukup banyak.

Masih menurut Luthfi Assyaukanie yang juga staf Ahli Wakil Ketua MPR RI itu, sebetulnya, Indonesia tidaklah sendirian. Polarisasi adalah fenomena global yang belakangan menimpa banyak negara di dunia.

Tak hanya negara-negara berkembang, negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris juga mengalaminya.
India, negara demokrasi terbesar di dunia, mengalami keterbelahan politik sejak tiga dekade terakhir. Turki juga menjalani hal sama sejak Recep Tayyip Erdogan menguasai negeri itu pada awal tahun 2000-an. Beberapa negara di Amerika Latin, seperti Venezuela, Bolivia, Kolombia, dan Brasil, berjuang keras mengatasi ketegangan dan konflik akibat keterbelahan sikap politik masyarakatnya.
***

Publik sebenarnya sadar bahwa demokrasi sendiri selalu memberikan ruang perbedaan pendapat dan pilihan politik, terdorong berbagai faktor dan pertimbangan. Politik ada, catat ilmuwan politik Andrew Heywood, karena satu pihak dengan lainnya berbeda pendapat, sebagai cermin perbedaan kepentingan.

Direktur Pascasarjana Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana Unas Jakarta, Dr. M. Alfan Alfian M. dalam tulisannya di Republika.co.id mengatakan bahwa ketika terjadi perbedaan pilihan politik langsung menajam akibat hoaks. Sementara tradisi tabayun atau konfirmasi yang diharapkan menguat mudah rusak tertimpa kepentingan.

Menurut Pengurus Pusat Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) ini, masyarakat berharap peran konfirmatif media massa arus utama.

Namun, seringkali karena ada kalanya media massa terlalu “semangat berpolitik” sehingga masyarakat tidak bisa lagi sepenuhnya percaya.

Polarisasi Bagian Pendidikan Politik

Polarisasi politik merupakan produk sistem pemilu yang membelah masyarakat dalam dua kutub yang berbeda. Perbedaan kutub ini juga bagian dari suatu kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat yang diatur dalam pasal 28 UUD 1945.

Demikian disampaikan Ketua KPU Kabupaten Pamekasan 2014-2019, Moh. Hamzah, S.Sos, M.Si.

“Sulit menghindari polarisasi politik. Mau tidak mau harus kita akui polarisasi merupakan produk sistem pemilu,” ujarnya

Pengajar FIA Unira Pamekasan ini mengatakan, untuk membatasi apalagi menghidari polarisasi politik sepertinya tidak mungkin. Namun, menurut dia, polarisasi bisa diminimalisir agar tidak sampai membawa pada perpecahan di tengah masyarakat.

”Dalam hal ini yang harus disadari oleh semua pihak bahwa prinsip ’persatuan dalam keberagaman’ itu sangat penting. Jadi polarisasi politik ini sebisa mungkin kita diakhiri bersamaan dengan berakhirnya semua tahapan dalam pemilu itu,” jelasnya.

Di sisi lain, tambah pria asal Pulau Kangean ini, selama dalam masyarakat terdapat pilihan-pilihan politik yang berbeda polarisasi itu akan tetap ada.

Karena itu, polarisasi politik ini sangat erat kaitannya dengan pilihan-pilihan politik (political choices) dalam pemilihan umum.

”Apalagi masyarakat kita masih terkotak–kotak dengan partai politik multipartai saat ini. Menurut saya polarisasi politik wajar saja terjadi karena hal tersebut bagian dari efek multi partai dan menjadi hak-hak politik (political rights) masyarakat,” katanya.
.
Meski demikian, tak selamanya polarisasi politik itu berdimensi negatif. Menurutnya, justru pada satu sisi polarisasi politik menjadi bagian dari pendidikan politik (political education) pencerdasan bangsa dalam merawat pilihan-pilihan aspirasi masyarakat secara mandiri tanpa intimidasi, tanpa tekanan-tekanan tertentu yang dapat menciderai kebebasan berpolitik (political freedom) bagi semua anak bangsa di negara demokrasi seperti Indonesia.

”Di sisi yang lain polarisasi politik harus bisa di-manage dikelola dengan baik jangan sampai menimbulkan dampak politik yang tidak menguntungkan bagi bangsa ini dengan kepentingan lima tahunan,” katanya.

Kekhawatiran menguatnya polarisasi politik akan merusak kepercayaan (trust) di masyarakat? Pengajar FH UIM Pamekasan 2004 – 2008 ini menjelaskan bahwa polarisasi politik ini bagian dari artikulasi kepentingan (interest articulation) yang harus diakomodasi oleh negara. ”Kekhawatiran itu bisa saja tapi tidak berdasar. Kepercayaan publik (public trust) terhadap pemerintah sebagai produk pemilu tidak bisa diukur dengan polarisasi politik yang terjadi,” jelasnya.

Kepercayaan publik terhadap pemerintah, lanjut Hamzah, bukan bermula dari polarisasi politik. Sebagai analogi perbandingan bahwa dalam pemilihan presiden dan wapres, untuk perolehan suara yang terbanyak maka itulah yang mempunyai legitimasi hukum (formal legitimation) sebagai presiden dan wapres terpilih, dimana kepercayaan publik terhadap kandidat atau pasangan calon presiden dan wakil presiden A itu sudah pasti lebih banyak ketimbang pasangan calon atau kandidat presiden dan wakil presiden lainnya (calon B, C dst).

”Jadi singkatnya, dari aspek public trust ternyata masyarakat lebih ’mempercayakan’ aspirasinya pada calon A daripada yang lainnya. Dengan demikian polarisai politik dalam masyarakat itu tidak akan merusak kepercayaan publik, akan tetapi kalau kekecewaan pasti terjadi. Tapi ingat bahwa kekecewaan itu tidak bisa dilegitimasi, tidak ada regulasi untuk itu,” tegasnya.

Dalam proses demokrasi di Indonesia, menurut amatan Hamzah, biasanya kekecewaan itu dapat diobati dengan political acomodation (akomodasi politik) atau political colaboration (kolaborasi politik) dengan merangkul partai-partai politik yang berseberangan untuk duduk dalam komposisi kabinet atas nama kepentingan dan tugas negara.

”Dengan proses politik akomodasi seperti ini maka polarisasi politik khususnya negative side effect dapat meminimalisir termasuk perpecahan dalam masyarakat, sekaligus menghindari politik zero-sum game, dus juga sebagai dampak positif yang harus disadari semua pihak,” ujar pengajar STIA Al-Khairat Pamekasan 2019–2021.

Bagaimana peran tokoh masyarakat? Menurut wakil Sekretaris GP Ansor Pamekasan 2003-2008 ini, kendati penting untuk dipertimbangkan, namun harus diakui bahwa sebagian dari tokoh masyarakat itu justru mejadi bagian dari aktor polarisasi politik tersebut.

Bagi tokoh-tokoh masyarakat tertentu yang tergabung dalam partai politik sudah pasti menjadi bagian dari polarisasi politik tersebut karena mereka menjadi elit politik (political elite) yang diharapkan mewarnai kebijakan-kebijakan partai dalam kontestasi politik.

”Lain halnya dengan tokoh-tokoh masyarakat yang betul-betul menjadi pengayom masyarakat dan tidak terkontaminasi kepentingan-kepentingan politik atau parpol dan menjadi teladan di masyarakat.

Mereka itu diharapkan menjadi ”guru masyarakat” atau ”guru bangsa” yang menempatkan kepentingan orang banyak di atas kepentingan kelompok atau partai politik tertentu.

Sementara kepada penyelenggara pemilu, Hamzah berpesan pentingnya sosialisasi terkait penggunaan hak-hak politik warga negara dalam proses demokrasi.

Penggunaan hak-hak politik masyarakat dalam pemilu ini didasarkan pada azas langsung, umum, bebas dan rahasia, serta jujur dan adil.

”Sosialisai dan pencerahan politik kepada masyarakat menjadi penting bahwa pemilu lima tahunan merupakan proses demokrasi yang memberikan kebebasan kepada semua warga negara untuk turut serta dalam penyelenggaraan pemilu sebagai manifestasi pilihan-pilihan politik (political choices) mereka secara mandiri, independen, dan individual,” katanya.

Pilihan-pilihan politik seyognyanya juga harus dihargai sebagai wujud artikulasi kepentingan politik dalam penyelenggaraan demokrasi khususnya dalam periodisasi lima tahunan.

”Penyelenggara pemilu menetapkan regulasi yang memungkinkan terjadinya rekonsiliasi politik untuk keutuhan bangsa dan negara.

Apabila hal ini dapat dilakukan dengan baik maka polarisasi politik di tengah masyarakat tidak akan terjadi atau dapat dicegah atau diminimalisir dengan baik,” ujar kabid PTKP HMI Badko Jatim periode 1997-1999.

Bagaimanakah peran tokoh masyarakat dalam mencegah terjadinya polarisasi politik di tengah masyarakat?

Menurut Hamzah, peran tokoh masyarakat sangat penting untuk dipertimbangkan dalam polarisasi politik masyarakat. Namun harus diakui bahwa sebagian dari tokoh masyarakat itu justru mejadi bagian dari aktor polarisasi politik tersebut.

Bagi tokoh-tokoh masyarakat tertentu yang tergabung dalam partai politik sudah pasti menjadi bagian dari polarisasi politik tersebut karena mereka menjadi elit politk (political elite) yang diharapkan mewarnai kebijakan-kebijakan partai dalam kontestasi politik. Lain halnya dengan tokoh-tokoh masyarakat yang betul-betul menjadi pengayom masyarakat dan tidak terkontaminasi kepentingan-kepentingan politik atau partai politik dan menjadi teladan di masyarakat.

Mereka itu diharapkan menjadi ”guru masyarakat” atau ”guru bangsa” yang menempatkan kepentingan orang banyak diatas kepentingan kelompok atau partai politik tertentu. (rasul junaidy)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *