JAKARTA, maduranetwork.com – Skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia merosot empat poin, dari 38 pada 2021 menjadi 34 di 2022. Hasil ini juga membuat peringkat Indonesia turun dari posisi 96 menjadi 110. Di kawasan Asia Tenggara saja, Indonesia berada di bawah Singapura, Vietnam, Malaysia, dll.
“Skor ini turun empat poin dari tahun 2021, atau merupakan penurunan paling drastis sejak 1995,” kata Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, Wawan Suyatmiko.
Apa Itu IPK?
Melansir laman resmi Transparency Internasional sebagai penyelenggara IPK, Indeks Persepsi Korupsi didefinisikan sebagai data indikator komposit yang digunakan untuk mengukur persepsi korupsi di sektor publik di berbagai negara di seluruh dunia.
Dalam melakukan pemeringkatan, IPK menggunakan skala 0 (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih). Artinya, semakin tinggi nilai indeks suatu negara, maka semakin rendah korupsi yang terjadi di negara tersebut.
Sejak diselenggarakan tahun 1995, metodologi yang digunakan untuk menentukan skor IPK mengalami sejumlah perubahan. Perubahan penting terjadi pada 2012 yang menggabungkan berbagai sumber data yang disederhanakan. Lalu digabungkan sehingga hanya mencakup data satu tahun dari setiap sumber data.
Metodologi ini mengikuti empat langkah dasar, antara lain pemilihan atau seleksi sumber data, penskalaan ulang sumber data, agregasi data penskalaan ulang, dan kemudian melaporkan ukuran ketidakpastian.
Apa Saja Indikator Penurunan IPK Indonesia?
Diberitakan Tempo sebelumnya, Wawan mengatakan setidaknya ada tiga indikator utama yang menyebabkan penurunan skor IPK Indonesia. “Adapun indeks tersebut adalah Political Risk Service, IMD World Competitiveness Yearbook, dan PERC Asia Risk Guide,” ujar dia.
Dijelaskan Wawan, political risk service indonesia turun 13 poin. Angka ini turut menyumbang turunnya indeks persepsi korupsi Indonesia. Menurut Wawan, penurunan 13 poin itu menunjukkan adanya risiko politik di Indonesia.
“Artinya para pelaku usaha sepanjang 2022 menghadapi risiko politik dalam berusaha di Indonesia. dan ini jadi PR besar untuk pemerintah, untuk lembaga politik, masyarakat sipil, pelaku usaha bagaimana sebenarnya menjaga political risk service kita di angka maksimal,” kata Wawan. (*)
sumber.tempo.co