Oleh: Syarif Hidayat Santoso
(Penikmat Sejarah, Alumni FISIP Unej, berdomisili di Sumenep)
Raden Wijaya anabrang mangalor tumurun sira saking parahu, kawengen ing tengahing sawah ring deca paminggiring sungeneb. Angrereb ing sawah lalahan mentas ginaru, galengipun anipis.
Petikan kalimat dalam kitab Sutasoma diatas ini menceritakan tentang perjalanan Sanggramawijaya menuju Sumenep pasca takluknya Singasari. Kira-kira artinya sebagai berikut, ”Raden Wijaya menyeberang ke utara, turun di perbatasan Sumenep, bermalam di tengah sawah yang baru saja disikat habis, pematangnya tipis”.
Ungkapan dalam pararaton tersebut memang hanya sebuah ungkapan biasa yang menceritakan pelarian Wijaya bersama sisa pengikutnya menghindari kejaran pasukan Daha. Namun ada satu informasi penting di situ. Wijaya tiba di Sumenep dan beristirahat di pematang sawah. Informasi di atas menunjukkan bahwa sudah ada sawah yang tertata rapi di Sumenep pada kisaran tahun 1290-an itu. Di sini kita menemukan bahwa sejatinya saat itu di Sumenep sudah ada pembangunan pertanian.
Ungkapan-ungkapan dalam pararaton selanjutnya menunjukkan bagaimana penghormatan Arya Wiraraja terhadap Wijaya beserta kerabat dan keluarganya. Selama di Sumenep, Wijaya tak kekurangan suatu apa, sandang pangan tercukupi dengan baik. Ada persembahan kain, sabuk, kain bawah, sirih pinang terhadap Raden Wijaya.
Pararaton juga menyebut persembahan makanan tiap saat kepada Wijaya. Situasi tersebut menunjukkan bahwa saat itu, Sumenep tak kekurangan suatu apapun. Pangan dan sandang terpenuhi dengan baik. Memang tak ada informasi bagaimana pangan untuk rakyat, tak ada pula kabar bagaimana sandang rakyat Sumenep.
Tak ada kejelasan kain-kain bagus persembahan Wiraraja itu asalnya darimana, apakah murni produk Sumenep yang merakyat ataukah hanya perlengkapan kalangan elit yang didapat dari daerah lain. Namun, setidaknya informasi sedikit di atas mengajarkan kepada kita sekilas kehidupan di Sumenep.
Ada satu pengajaran penting dalam kehidupan dan pembangunan dalam kisah Wiraraja dan Wijaya kemudian. Wiraraja mengajukan satu konsep menarik kepada Wijaya, agar Wijaya berbaik politik lagi dengan raja Daha, Jayakatong. Wiraraja mengajukan usul agar setelah Wijaya menerima amnesti politik dari Jayakatong, Wijaya harus mengajukan hutan Tarik sebagai tempat tinggal baru.
Terkenal ucapan Wiraraja dalam pararaton, ”Hendaklah tuan memohon hutan Tarik kepada Raja Jayakatong, hendaklah tuan membuat desa di situ, hamba-hamba Maduralah yang akan menebang hutan untuk dijadikan desa”. Usulan lainnya menyebutkan agar Wijaya melakukan observasi politik terhadap situasi kerajaan Daha terutama berkaitan dengan pembesar-pembesar Daha yang pro Jayakatong.
Siasat observasi politik atau dalam bahasa lain disebut mata-mata ini dilakukan setelah tahap permohonan amnesti kepada raja Kediri dan sebelum tahap pembukaan hutan Tarik. Wiraraja juga mengusulkan untuk tetap menerima orang-orang Singasari pendukung Kertanegara yang ingin pindah meramaikan desa baru hutan Tarik tersebut.
Jelas dalam kisah di atas, ada beberapa konsep pembangunan yang diajukan Wiraraja kepada Wijaya. Pertama, amnesti politik. Kedua, pemahaman tentang situasi politik dan pemetaan politik, Ketiga pembangunan baru sebuah daerah. Tahap ketiga ini (pembukaan lahan baru untuk pembangunan sebuah kawasan permukiman baru) di masa kemudian biasa disebut Babat Alas.
Jelas di sini, bahwa Wiraraja tidak berangkat dari konsep kosong tentang sebuah negara. Ada konsep stabilitas politik yang harus terjaga, ada konsep pembangunan ketahanan pangan, ada konsep pembukaan kawasan baru yang terintegrasi dengan kondisi ekonomi dan juga ada konsep ketahanan keamanan.
Pemetaan politik untuk ketahanan dilakukan dengan cara memata-matai bagaimana kondisi dan sikap pembesar-pembesar militer Kadiri terutama Patih Kebo Mundarang, Mahisa Rubuh dan Penglet. Bagaimana kecakapan militer mereka setelah serangan mereka terhadap Singasari.
Dalam pembangunan sebuah kawasan baru, sikap untuk mengetahui peta politik militer memang penting sehingga kawasan baru tersebut memiliki acuan awal bagaimana mengelola ketahanan keamanannya. Hutan Tarik dipilih oleh Wiraraja bukan tanpa alasan. Wiraraja yang cerdik itu tak mengajukan usul agar Wijaya kembali membangun Tumapel, Kawasan Singasari yang lama untuk dibangun.
Wiraraja juga tak mengajukan usul agar Wijaya berdiam di Daha Kediri dalam rangka membangun singgasana barunya. Wiraraja mengusulkan sebuah wilayah baru yang bebas dari beban kisah lama. Alas Tarik yang dibabat itu menunjukkan warna baru politik yang kemudian kita kenal dengan Majapahit. Wiraraja ingin tak ada unsur dendam berlarut antara Kediri dan Singasari yang mewarnai kawasan baru tersebut, namun Wiraraja tetap mengajukan usul agar para pendukung Kertanegara dari kawasan lama Singasari, Tumapel jika ingin bergabung dengan Majapahit hendaknya diterima.
Ini konsep pembangunan yang menarik, dimana sebuah daerah harus dijaga stabilitasnya dengan karakter semangat baru namun tidak meninggalkan semangat lama yang bagus. Konsep pembangunan ini ternyata menjadi semakin menarik manakala kita tahu bahwa kawasan itu dibangun sama sekali baru, berangkat dari awal.
Hutan Tarik dibabat tak hanya untuk sebuah desa, tapi ada konsep pembangunan ekonomi di situ. Hutan Tarik yang dekat Kali Brantas sebagai salah satu lalu lintas perairan ke pedalaman Jawa Timur saat itu menunjukkan adanya semangat ekonomi yang tak terpisahkan.
Hutan Tarik dibabat juga dengan aura pertanian yang bagus, kitab Banjaran Majapahit sebagaimana dikutip Doktor Purwadi menceritakan keindahan Majapahit bekas hutan Tarik. Ada kolam segaran, ada pertamanan dengan bunga-bunga yang indah, adapula keindahan flora beringin.
Arya Wiraraja mengajarkan sesuatu melampaui zamannya. Arya Wiraraja mengajarkan ketahanan pangan harus seiring dengan ketahanan politik dan keamanan militer dalam balutan pembangunan yang sinergis.
Wijaya membangun Majapahit berdasar konsep kesinambungan antara desa dan kota. Konsep pembangunan yang menjaga kesinambungan pedesaan dan perkotaan itu tetap dipertahankan oleh raja-raja Majapahit kemudian bahkan menjadi konsep unggul dalam masa keemasan Majapahit di masa Hayam Wuruk. Mpu Prapanca menyampaikan bagaimana di masa Hayam Wuruk, kota dianggap sebagai singa dan desa disebut hutannya. Jika singa tanpa hutan maka singa takkan memiliki wibawa sama sekali.
Ungkapan dalam Negarakertagama berbunyi begini, “Apan ikan pura len swawisaya kadi Sinha lawan gahana, yan rusakan thani milwan akuran upajiwa tikan nagara.” Artinya ”sebab kerajaan dan wilayahnya itu tidak lain seperti singa dan hutan, jika desa (pertanian) rusak, akan ikut kurang penghidupan di negara itu. Maka, “hetun nikan pada raksan apageha kalih phalanin mawuwus, maka jagalah keduanya demikian inti perintahku”.
Ajaran Wiraraja yang menyuruh babat alas pada dasarnya menunjukkan kesinambungan ini. Sebuah kota akan baik manakala dikelilingi pedesaan dengan pertanian yang baik. Sebuah daerah akan kuat dan stabil manakala terjadi keseimbangan pembangunan antara desa dan kota. Adanya kesamaan dalam praktik pembangunan yang diusulkan Wiraraja dengan praktik pembangunan yang dilakukan di masa berikutnya di Majapahit menunjukkan eratnya relasi Jawa dan Madura.
Maka wajar, jika relasi harmonis tak terpisahkan antara Majapahit dan Madura ini disebut dengan konsep Dwipantara di masa Tribuwana Tunggadewi, konsep penyatuan yang tak pernah terpisahkan. Kokohnya hubungan Madura dengan Jawa juga disebut di Negarakertagama dimana Madura tidak dianggap daerah lain seperti taklukan Majapahit lainnya namun dianggap menyatu dengan Jawa.
Bahkan kuatnya ketahanan pangan di Madura pada era Mataram Islamlah, konon yang menyebabkan lahirnya inisiatif serangan Mataram ke Madura. Disinyalir, Madura merupakan pemasok utama pangan ke Surabaya yang saat itu diserbu Mataram. Petinggi militer Mataram kemudian melakukan penyerbuan ke Madura di masa Pangeran Mas, karena dengan jatuhnya Madura diharapkan wilayah Surabaya yang tangguh bisa dilemahkan karena logistik suplai pangan dari Madura bisa diputus.
Kebijakan babat alas untuk sebuah pembangunan pertanian ini merupakan kebijakan nasional Jawa saat itu. Sejarah dalam Negarakertagama menceritakan bagaimana penguasa Majapahit yang lain seperti Hayam Wuruk membuka hutan Watsara dekat Tigawangi untuk dijadikan persawahan, juga raja Wengker Wijayarajasa membuka hutan Surabaya dan Pasuruan. Adalagi Raja Kertawardhana yang membuka hutan Sagala.
Undang-undang Kutaramanawa menjabarkan bahwa barangsiapa mengurangi penghasilan makanan dengan cara mempersempit sawah atau membiarkan terbengkalai apa-apa yang dapat menghasilkan makanan akan diperlakukan sebagai pencuri.
Bahkan gerakan babat alas dengan titik tumpu kawasan baru dan lahan pertanian baru ini juga menjadi sebuah kebijakan Sumenep pada masa Islam, diantaranya masa Pangeran Jimat. Pangeran Jimatlah yang menggerakkan massa Sumenep untuk membabat alas daerah-daerah baru di tapal kuda, tujuannya untuk pembangunan kekuatan politik-ekonomi Sumenep di tapal kuda dan juga untuk Islamisasi.
Sebelumnya kawasan timur tapal kuda (Blambangan) diserbu juga oleh Yudanegara berkat instruksi Mataram. Hal inilah yang memperkuat klaim raja-raja Sumenep bahwa timur Jawa Timur merupakan wilayahnya.
Sumenep saat itu memang memiliki wilayah tak sebatas Sumenep sekarang. Sumenep membentang juga di Blambangan Jawa Timur sebagai akibat jasa politik Joko Tole yang menumpas pemberontakan Menak Jayengpati. Wilayah Sumenep juga memiliki bekas di Lumajang dan Pajarakan sebagai akibat dibagi duanya wilayah Majapahit oleh Wijaya karena jasa baik Wiraraja, meski Sumenep lebih suka menjadi Majapahit daripada menjadi Lumajang Tigang.
Wilayah Blambangan yang Hindunya kuat, sedikit demi sedikit menjadi Islam karena migrasi orang-orang Sumenep yang memenuhi kawasan itu. Asimilasi plus Islamisasi ini menunjukkan dakwah moderat orang-orang Sumenep dalam mengislamkan Jawa Timur. Hal ini menunjukkan kesuksesan orang-orang Islam Madura dalam mengislamkan belahan timur tanah Jawa yang tak pernah bisa diislamkan Demak dan Mataram.
Bahkan kita tahu, raja Demak, Sultan Trenggono gugur di Pasuruan dalam rangka politik Islamisasi itu. Raja-raja Mataram Islam sejak Sutawijaya, sampai Sultan Agung tak pernah bisa menyentuh bumi timur pulau Jawa karena energi mereka habis dalam peperangan penaklukan Surabaya dan Madura.
Justru orang Sumeneplah yang mampu melaksanakan tugas itu dan uniknya tugas pengislaman Jawa Timur disinergikan dengan kegiatan babat alas, dimana kemudian sepanjang bumi Blambangan sejak Situbondo sampai Banyuwangi bertebaran orang-orang Madura dengan suasana kebudayaan Islamnya yang kental plus lahan pertaniannya sekalian. Kota-kota baru bermunculan di Basuki dan Blambangan namun kota-kota itu tetap dikelilingi pesantren dan kawasan pertanian subur yang mampu menopang pangan rakyat. Tak ada dikotomi desa dan kota di Sumenep, Majapahit dan Jawa.
Maka dari itu, konsep pembangunan yang mensejajarkan desa dan kota inilah yang harus kita tiru terus menerus. Konsep yang tak menduakan pembangunan sektor pertanian dan kelautan.
Sumenep kontemporer telah memiliki konsep-konsep pembangunan pertanian pedesaan yang menarik sejak pembangunan kawasan agropolitan dan pembangunan pertanian lainnya.
Sebelumnya, Sumenep juga berupaya membangun sentra perekonomian dengan konsep Marengan sebagai kota dagang (kita tak tahu kelanjutan konsep ini). Pada dasarnya, kita harus mengapresiasi semua itu. Konsep yang tak hanya bercerita tentang keriangan orang-orang kota tapi bagaimana mensejahterakan orang-orang desa, agar beras, jagung dan tembakau yang melimpah itu tak cuma memperkuat ketahanan pangan tapi juga meningkatkan taraf ekonomi para petani.
Memang benar, harus ada juga pembangunan berkebudayaan dan berkesenian. Hal ini wajar saja, karena di masa lalu Sumenep pernah punya Yudanegara, seorang raja yang ahli berkesenian, berkebudayaan namun juga seorang yang alim.
Yudanegaralah yang membangun keriangan berkesenian itu, namun dia tetap tak melupakan sawah dan ladang. Orang-orang Sumenep tetap memiliki ketahanan pangannya yang baik. Di tengah ancaman krisis pangan dan kuatnya kesenjangan desa dan kota tiba-tiba saja kita teringat Arya Wiraraja kembali. (*)