Mewaspadai Politik Identitas dan Polarisasi Politik

POLITIKA1274 Dilihat

Oleh: Dr Iksan K. Sahri

Banyak pihak menyebut bahwa polarisasi politik semakin menguat pada dua dasawarsa terakhir dengan menguatnya polarisasi kelompok politik Islam kanan di satu sisi dengan kekuatan nasionalis di sisi lain.

Polarisasi politik yang terulang juga berpotensi terjadi jika melihat para tokoh yang diperkirakan akan bertarung pada perhelatan pememilihan umum (pemilu) pada tahun 2024.

Apalagi jika melihat bagaimana politik identitas ini dipelihara oleh pihak-pihak yang tak terlihat (invisible hands).

Kecenderungan polarisasi ini menariknya berseberangan dengan kecenderungan ideologi partai politik yang semakin cair, terbuka, kolusif, dan pragmatis. Namun, berbagai peristiwa politik sejak tahun 2019 menunjukkan semakin meningkatnya sentimen agama dan etnik dalam wilayah publik.

Hal menarik untuk dikaji adalah apakah polarisasi politik akan terjadi lagi pada 2024?

Untuk menjawab hal ini, tentu kita bisa melihat dari indikator sentimen afiliasi masyarakat terhadap satu calon tertentu.

Hingga saat ini, pertarungan gagasan antara para tokoh yang digadang-gadang akan mencalonkan diri sebagai calon presiden Republik Indonesia belum terlihat.

Hal yang justru terlihat adalah identitas calon baik agama ataupun etnis.

Identitas tersebut baik digunakan untuk mendukung ataupun digunakan untuk memukul.

Pertarungan ide tentang membangun Indonesia kalau boleh dikatakan sama sekali belum terlihat, bisa saja karena tidak ada sesuatu yang baru atau bisa jadi karena masa kampanye saat tulisan ini dibuat belum dimulai.

Permainan politik identitas biasanya pada wilayah kesamaan etnisitas, afiliasi keagamaan, dan afiliasi kelompok.

Rumusnya sama, lawan politik akan diasosiasikan sebagai others (yang lain) yang berbeda dengan diri dan kelompoknya dan yang didukung akan didekatkan dengan mengetengahkan kesamaan-kesamaan identitas. Kalau tidak sama, harus dicari dan dibuatkan kesamaan-kesamaannya.

Peristiwa demo berjilid-jilid atas kasus Ahok misalnya dilakukan dengan melihat Ahok sebagai others, baik secara agama maupun secara etnis.

Kelemahan penegakan hukum, pengentasan kemiskinan, ketersediaan lapangan pekerjaan, dan kesejahteraan sosial kemudian dibaca sebagai ulah others dan dinarasikan sebagai bagian dari perjuangan keagamaan.

Dua narasi ini dipertemukan dan menjadi isu-isu populisme dengan label agama.

Atas hal tersebut kemudian menjadi wajar jika narasi-narasi yang dimunculkan adalah narasi-narasi agama berupa jihad, pahala, dosa, munafik, kafir, dan lainnya.

Sesuatu yang bersifat sakral tapi diartikan dalam konteks profane keduniawian yang pragmatis.

Polarisasi tersebut diperparah oleh keberadaan media sosial yang mengetengahkan kematian kepakaran di mana semua orang bisa berpendapat, di mana seorang ahli bisa dibantah oleh orang yang tidak memiliki kualifikasi untuk mengetengahkan pendapat.

Sebuah era yang kemudian dikenal oleh para pakar sebagai era post truth, di mana kebenaran adalah kebenaran yang dipilih.

Politik identitas ini secara global dimainkan oleh kelompok kanan yaitu sebuah istilah yang merujuk kepada keyakinan akan supremasi kelompoknya atas kelompok lain.

Jika di Indonesia diwakili oleh kelompok Islam kanan, maka di Amerika diwakili oleh kelompok kulit putih kanan, dan di Inggris diwakili oleh kelompok kanan setempat.

Di Amerika sentimen white supremacy ini mengegolkan Trump sedangkan di Inggris menghasilkan Brexit.

Memang politik identitas itu tak lagi berhasil menjadikan Trump untuk kedua kalinya menjadi presiden Amerika, tapi juga menegaskan bahwa hal ini masih bisa dimainkan untuk kepentingan politik praktis.

Permainan ini tentu berbahaya, karena politik identitas untuk kepentingan perebutan politik sesaat itu ternyata tidak reda begitu perhelatan politik selesai.

Justru yang terlihat polarisasi ini masih terasa hingga tahun demi tahun jalannya pemerintahan.

Jika ini berlanjut dan tidak ada gerakan bersama untuk melihat ini sebagai akrobat politik belaka, maka negara kita yang dibangun dari asas ke-bhineka-an dapat benar-benar terancam, terutama sekali pengguna media sosial kita kebanyakan adalah anak muda yang terdiri dari generasi milenial dan generasi z yang menjadi komponen utama generasi Indonesia di masa yang akan datang.

**) Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *